Persamaan Persepsi Tentang Plagiat

Barangkali terdapat perbedaan pemahaman tentang plagiat. Akhir-akhir ini, Dikti membuat definisi plagiat yang berbeda dengan pemahaman yang selama ini para ilmuwan. Apalagi dengan munculnya berbagai perangkat lunak untuk mengecek ada atau tidak adanya plagiat dalam suatu karya ilmiah dosen. Plagiat disamaartikan dengan besarnya tingkat kesamaan penggunaan kata-kata lebih besar dari 20%. Batasan ini jelas sangat memberatkan para dosen. Dengan model ini, maka istilah ilmiah bidang ilmu yang sudah digunakan jika digunakan lagi menjadi plagiat. Padahal istilah teknik sangat terbatas, dan pasti akan diulang-ulang jika karya ilmiah tersebut sejenis. Lalu, dalam bahasa ilmiah ada 500-600 kata Bahasa Inggris yang sudah lazim digunakan (academic words). Jelas, akan ada persamaan penggunaan ungkapan yang selalu berulang. Apabila academic words diganti dengan kata umum maknanya bisa kurang mendalam atau bahkan kurang sesuai. Okey, jika inipun dibolehkan, jumlah kata umum juga sangat terbatas. Nah sudah pasti untuk mengungkapkan fenomena yang sama, akan sulit dihindari penggunaan kata yang sama.

Selain itu, setiap kata yang mempunyai arti yang mirip, kadang kala penggunaannya tidak bisa untuk setiap kondisi. Sebagai contoh kalimat:

“Setiap orang akan mati.”

Kata mati mempunyai sinonim meninggal, wafat, tewas, gugur, syahid, dll. Namun, kata-kata tersebut tidak bisa secara langsung menggantikan kata “mati”, sebab kata-kata tersebut digunakan untuk suatu kondisi tertentu. Syahid adalah mati karena membela agama Islam. Gugur digunakan bagi mereka yang mati dalam menegakkan keutuhan bangsa dan negara. Demikian pula dengan kata “orang” yang mempunyai sinonim dengan manusia, insan, dll.

Pemahaman Plagiat

Ada beberapa pendapat kapan suatu karya ilmiah dinilai plagiat.

  1. Pendapat pertama suatu karya ilmiah dinilai plagiat jika tidak ada kebaruan dari karya ilmiah tersebut. Tidak ada ide atau gagasan baru. Tidak ada temuan baru. Tidak ada ungkapan yang baru. Dan seterusnya. Menurut versi ini, maka boleh saja seorang ilmuwan mengkopi-pastekan kata, kelompok kata, kalimat dan bahkan paragrap begitu saja asalkan dituliskan sumbernya. Yang penting adalah apa inovasi dari karya ilmiahnya. Jika itu baru dan asli, maka tidak plagiat. Pendapat para ilmuwan yang lain hanyalah dijadikan sarana untuk menarik benang merah antara temuan ilmuwan sebelumnya dengan temuannya sendiri. Saya telah membaca, karya ilmiah di jurnal-jurnal internasional bereputasi yang menganut model ini. Saya baca pendahuluan dan materi dan metodenya sama seperti karya ilmiah sebelumnya, tapi dalam hasil dan pembahasan ditemukan adanya kebaruan/temuan baru. Temuan baru itu adalah merupakan solusi dari masalah riset yang selama ini belum ditemukan.
  2. Pendapat kedua suatu karya ilmiah dinilai plagiat, jika penulis mengutip tidak menganut kepada teknik pengutipan yang berlaku. Ada dua teknik mengutip, yaitu kutipan langsung, dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung adalah mengutip apa yang ditulis oleh ilmuwan lain persis sama dan tidak boleh diubah. Ada tata cara pengutipan langsung yang perlu diperhatikan. Dalam kutipan langsung ini, penulis wajib mencantumkan sumber kutipan. Nah, jika penulis sudah mengacu kepada ketentuan kutipan langsung, maka tulisannya tidak plagiat. Kutipan tidak langsung adalah kutipan yang mengambil intisari dari gagasan penulis sebelumnya. jadi, penulis karya harus membuat parafrase, yaitu membaca, memahami, menafsirkan, mengambil inti gagasan, ditulis dengan bahasa sendiri dan ditulis sumbernya. Nah, pada kutipan tidak langsung ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: a) sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan publik, maka seseorang tidak dianggap plagiat meskipun tidak menyebutkan sumber kutipan dan bahkan jika menggunakan kata-kata atau kalimat yang sangat mirip. Contohnya seperti: semua orang akan mati, bumi mengelilingi matahari, bumi berotasi, rumus-rumus matematika, rumus-rumus kimia, rumus-rumus fisika, dll.; b) undang-undang, peraturan-peraturan, dan yang sejenis justru harus ditulis secara lengkap persis seperti bunyi asli, tidak boleh dibuat parafrase.
  3. Pendapat ketiga adalah apa yang dituangkan oleh Dikti dalam peraturan yang dikeluarkan tahun 2010. Peraturan ini kemudian menimbulkan perbedaan tafsir di atara reviewer Dikti. Sekelompok reviewer, berpendapat bahwa jika sebuah artikel tidak lengkap daftar pustaka atau kelebihan daftar pustaka, berarti ia tidak mebgutip dengan benar, dan dinilai sebagai plagiat, dan nilai angka kreditnya sama dengan nol. Sementara, sekempok reviewer lainnya hanya menyatakan kualitas karya tersebut berkurang, sehingga hanya mengurangi hanya angka kreditnya. Tampaknya, kelompok pertama yang didukung oleh Dikti. Lebih-lebih dengan adanya keputusan Dikti bahwa setiap karya ilmiah yang diajukan untuk kenaikkan jabatan harus dicek apakah ada atau tidak ada unsur plagiat. Sayangnya, perangkat yang digunakan oleh Dikti adalah mesin semacam turnitin. Semua perangkat lunak plagiarims checker mendasarkan pada kesamaan kata atau kelompok kata. Ini yang membuat pemahaman plagiat suatu karya ilmiah menjadi porak poranda. Oleh sebab itu, ilmuwan yang mengutip secara langsung sudah pasti 100% tingkat kesamaannya jika menggunakan mesin yang ada sekarang. Pengetahuan yang sudah diketahui publik (sudah menjadi pengetahuan publik) jika menggunakan ungkapan yang relatif sama, maka juga akan dinilai mempunyai tingkat kesamaan yang tinggi, alias plagiat.

Saya berharap, adanya persamaan persepsi diantara pengambil keputusan tentang definisi plagiat, dan mengembalikannya kepada pemahaman yang selama ini diacu oleh para ilmuwan. Paling tidak bisa disepakati pendapat nomer 2. Saya sepakat menggunakan mesin untuk mempermudah pengecekan, tapi tentu saja perlu dibuat program yang memasukkan unsur-unsur tertentu yang telah disepakati.

Turnitin Oh Turnitin!

Dikti terus menggoyang dan memanikkan para dosen di seluruh Indonesia. Tahun 2010 turun peraturan tentang plagiarisme. Dalam peraturan tersebut antara lain menyatakan bahwa suatu artikel dapat dinyatakan plagiat jika sang penulis mengutip karya orang lain (sengaja atau tidak sengaja) secara tidak benar. Pernyataan ini mengakibatkan multitafsir dalam aplikasi di lapangan. Hal yang sangat ekstrim pun terjadi. Ada kasus artikel dosen dinilai plagiat dikarenakan daftar pustaka tidak lengkap, yaitu satu atau lebih pustaka yang disitasi tidak dicantumkan (tidak teliti tentunya) . Kasus lain pustaka yang disitasi ditulis tahunnya tidak sama dengan yang ditulis dalam daftar pustaka. Inipun juga dinilai plagiat. bahkan kelebiha daftar pustaka juga dinilai  plagiat. Mengapa? Berarti penulis tidak mengutip secara benar, dimana penulis tidak mengutip daftar pustaka dalam teks artikelnya.

Kasus ini sering ditanyakan oleh para dosen di setiap kesempatan. Jawabannya antara lain jika kasusnya seperti di atas, maka kualitas artikel tersebut berkurang. Ketika dikejar lagi bahwa berarti itu kan nilainya tidak nol. Jawaban narasumber kurang tegas. Saya juga melihat perbedaan di antara para penelaah (tim penilai KUM). Ada yang dengan tegas menilai nol, ada juga yang hanya mengurangi nilainya. Saya sih setuju dengan pendapat terakhir. Baca lebih lanjut

Plagiarisme, Bagaimana Menghindarinya?

Oleh: Urip Santoso
Permendiknas no. 17 tahun 2010 menjelaskan apa yang dimaksud dengan plagiat. Pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa: “Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) disebutkan: “Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri”.
Jadi menurut definisi di atas plagiarisme adalah:
1. Mengutip kata-kata atau kalimat orang lain tanpa menggunakan tanda kutip dan tanpa menyebutkan identitas sumbernya (kasus kutipan langsung)
2. Menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
3. Menggunakan fakta milik orang lain tanpa menyebutkan identitas sumbernya.
4. Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri.
5. Membuat parafrase tanpa menyebutkan identitas sumbernya. Baca lebih lanjut

Teknik Membuat Parafrase Agar Terhindar dari Plagiat

Oleh: Urip Santoso

Dikti mulai membidik pelaku plagiat terutama para dosen. Dalam dunia tulis menulis tidak bisa dihindarkan untuk mengutip artikel dari penulis lain. Tindakan mengutip ini bertujuan untuk memperoleh dukungan dari argumentasi yang diungkap atau untuk membandingkan sehingga akan diperoleh sesuatu yang baru. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang mengutip tidak dengan cara yang benar atau mungkin tidak lengkap.
Ada dua tipe kutipan, yaitu kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung ditandai dengan adanya tanda “…” di awal dan akhir tulisan yang dikutip. Dalam kutipan langsung tidak diperbolehkan mengubah kata meskipun menurut Anda itu ada kesalahan. Memberikan tanda “…” tidak cukup. Baru memadai jika disebutkan sumbernya di dalam teks tersebut dan dituliskan dalam daftar pustaka. Kutipan tidak langsung itu adalah mengambil intisari dari tulisan tersebut. Agar kutipan tidak langsung itu tidak dianggap plagiat maka seorang penulis harus membuat parafrase. Baca lebih lanjut

ETIKA PENULISAN KARYA ILMIAH1

Oleh: Urip Santoso2

Pendahuluan
Segala aktivitas manusia di dunia ini pastilah selalu diatur oleh norma-norma yang berlaku di sustu masyarakat. Norma-norma atau aturan-aturan diperlukan untuk mengatur kegiatan individu ataupun kelompok indidvidu agar satu dengan yang lainnya tidak berbenturan atau merugikan bagi individu atau kelompok individu lainnya.
Nah, dalam kehidupan sehari-hari kita diikat oleh suatu etika. Jika anda seorang wartawan, maka anda diharapkan mematuhi etika yang berlaku bagi para wartawan. Jika anda tidak mematuhi maka anda akan mendapat sangsi. Jika anda seorang dosen, anda juga diikat oleh etika dalam tugas anda sebagai dosen.
Demikian pula jika kita menjadi seorang peneliti dan penulis kita juga diikat oleh etika-etika yang berlaku dalam dunia tulis menulis. Kita, pernah membaca berita tentang seorang doktor yang dijatuhi sangsi akademik berupa dicopotnya gelar akademiknya. Kesalahan yang dilakukannya adalah ternyata disertasinya menjiplak skripsi mahsiswa S1. Kita mungkin juga pernah membaca buku tulisan ilmuwan Indonesia yang ternyata isinya sama dengan buku yang ditulis oleh ilmuwan mancanegara. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang serupa tapi tak sama lainnya. Baca lebih lanjut

Apa Itu Plagiat?

Oleh: Urip Santoso

Barangkali anda pernah mendengar berita tentang pencopotan gelar akademik berkualifikasi doktor oleh suatu perguruan tinggi. Ini disebabkan karena doktor baru itu terbukti secara sah telah melakukan plagiat, yaitu menggunakan skripsi mahasiswa (S1) sebagai bagian dari disertasinya. Anda mungkin pernah membaca sebuah buku yang salah satu babnya merupakan hasil jiplakan dari buku lain. Bahkan di zaman internet banyak diantara kita disadari atau tidak disadari telah menjiplak artikel-artikel dari internet. Jika anda mencoba mengungkapkan jiplak-menjiplak di dunia tulis-menulis, mungkin akan anda peroleh angka yang sangat fantatis. Ya, ibarat gunung es di laut lepas. Yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil, padahal di bawahnya jauh lebih banyak. Demikian pula halnya dengan urusan jiplak-menjiplak seperti gunung es itulah. Hanya yang bernasib sial sajalah yang ketahuan.
Sebelum saya menguraikan tentang hal ini, baiklah saya uraikan terlebih dahulu apa itu plagiat. Plagiat adalah perbuatan seseorang yang mengakui karya milik orang lain sebagai karyanya sendiri. Jika menganut kepada definisi di atas, maka seseorang dapat dinyatakan melakukan plagiat jika ia telah mengakui karya itu sebagai karyanya meskipun hanya satu kalimat atau satu kata kunci. Oleh sebab itu, anggapan bahwa kita dapat mengambil 10% dari karya ilmiah orang lain yang kemudian dianggap sebagai bagian dari karya sendiri adalah kurang benar. Masih banyak diantara kita yang berpedoman kepada pendapat ini, padahal pendapat ini kurang dapat dipertanggungjawabkan. Apakah seseorang yang mencuri sebagian kecil dari milik orang lain dapat dianggap bukan pencuri? Tidak bukan? Ia tetap pencuri, hanya mungkin hukumannya yang berbeda. Ya, memang seorang yang melakukan plagiat adalah seorang pencuri. Jadi, meskipun hanya sedikit tetap saja ia mencuri karya orang lain. Saya berpendapat bahwa seoran dosen misalnya yang mempublikasikan skripsi mahasiswa sebenarnya mereka juga Baca lebih lanjut